Dalam
politik, tidak ada teman yang abadi, yang ada hanyalah kepentingan yang abadi.
Begitulah kira-kira ungkapan yang kerap terlontar dan menghiasi dunia
perpolitikan kita. kepentingan yang sama, apapun bentuknya adalah teman bagi
politik itu sendiri. Kenyataan ini bukan merupakan degradasi dalam kancah
perpolitikan, tetapi harus diyakini sebagai kodrat dari politik yang
terakomodasi dalam bentuk kepentingan. Sudah menjadi rahasia umum bahwa politik
adalah kepentingan (interest).
Perjuangan
dalam arena politik berarti perjuangan untuk mewujudkan kepentingan. Mengingat
dalam politik ada beragam kepentingan, maka idealnya, mengutamakan kepentingan
publik (public interest) adalah
tujuan utama yang seharusnya dicapai. Karena itu, mengutamakan kepentingan
publik diatas kepentingan kelompok dan kepentingan pribadi adalah sebuah
imperatif.
Dalam
praksis politik,ide mulia yang mengutamakan kepentingan publik diatas
kepentingan kelompok dan pribadi kerap kali mengalami hambatan. Menurut Auri
Adham Putro, terdapat tiga kondisi yang membuat kepentingan publik menjadi
sulit diwujudkan.
Pertama,
masyarakat tetap dianggap sebagai massa, dan bukan elite, sehingga selalu
dianggap bodoh dalam hal politik. Urusan politik hanya milik elite semata,
sedangkan porsi masyarakat terkait dengan keseharian politik yang banal. Elite
berada dalam posisi sebagai subyek sementara masyarakat dianggap sebagai objek
politik. Elite superior, sedangkan masyarakat yang memberikan legitimasi
politik kepada elite justru harus puas menjadi inferior.
Kedua,
masyarakat hanya dibutuhkan dalam situasi tertentu, misalnya ketika akan
diadakan pemilu, tetapi ketika pemilu usai ia akan dikembalikan ke habitat
aslinya yang penuh ketidakpastian dan penderitaan. Komunikasi politik hanya
berlangsung 5 tahun sekali sesuai dengan agenda pemilu dan sesuaikan dengan
kepentingan politik tertentu yang mengharuskan elite berhubungan dengan
masyarakat.
Ketiga,
masyarakat hanya diperlukan dalam rangka membangun klaim-klaim politik sebagai
senjata supaya tetap dianggap “demokratis”. Kehadiran masyarakat hanya
menghiasi label demokratis dalam rangka pencapaian kekuasaan, selanjutnya
setelah kekuasaan tersebut diraih, maka rakyat harus mengundurkan diri dari
arena politik.
Kondisi
ini ditambah dengan semakin gagahnya para politisi beretorika, sehingga atas
nama kepentingan publik, mereka sebenarnya sedang merancang suatu strategi demi
kepentingan kelompoknya sendiri. Dengan kata lain, rakyat kerap disuguhi aneka
permainan politik yang memaksa rakyat tertegun lantas tidak lagi mampu
membedakan mana yang merupakan kepentingan publik dan yang justru menguntungkan
kelompok tertentu.
Keadaan
ini pada tahap selanjutnya membuat kepentingan kelompok dan pribadi lebih
berdaulat daripada kepentingan publik. Kendati demikian, masih terbuka peluang
untuk mengakomodasikan kepentingan publik walau dalam porsi yang terbatas.
Peluang
tersebut pertama-tama terletak dipara politisi yang masih memiliki idealisme untuk
memajukan kepentingan publik baik diatas kepentingan kelompok maupun
kepentingan politiknya. Mereka adalah orang-orang yang sadar terhadap tugas dan
tanggung jawabnya lantas melakukan dan memberikan yang terbaik kepada publik
demi kepentingan orang banyak. Kita
harus berangkat dari pemahaman bahwa para politisi juga merupakan bagian dari
kepentingan publik sehingga sudah selayaknya mereka tertantang mengutamakan
kepentingan publik juga.
Dalam
diskursus politik kepentingan, persoalan pelik yang sering muncul bagi politisi
adalah soal porsi kepentingan terhadap partai yang telah berjasa melahirkan
politisi dan terhadap rakyat sebagai konstituennya. Mengingat dua kepentingan
yang sangat strategis ini, dalam banyak kasus, hal ini amat membingungkan para
politisi dalam membedakan kepentingan mana yang harus diutamakan sehingga tak
jarang melahirkan konflik kepentingan.
Posisi
hubungan antara kepentingan partai dan rakyat, secara bijak, pernah disampaikan
oleh Muhammad Natsir dalam ungkapannya yang berbunyi: “The loyality to the party ends, when the loyality to the state begins”.
Sayangnya kalimat sederhana yang amat bermakna ini tidak sepenuhnya diamanatkan
oleh para politisi kita.
Di
antara kepentingan dilematis yang kerap muncul antara mewujudkan kepentingan
kelompok dan kepentingan rakyat, kuatnya jaringan hierarki kelompok membuat
para politisi harus tunduk kepada loyalitas kelompok. Kenyataan ini membuat
kepentingan kepada negara (rakyat) masih dapat terwujud jika kepentingan kepada
kelompok telah dilakukan. Artinya, kepentingan terhadap negara (rakyat)
hanyalah kepentingan pelengkap.
Tidak
terwujudnya kepentingan negara (rakyat) karena pengaruh loyalitas terhadap
kelompok lebih dominan dibandingkan terhadap negara (rakyat). Piet H Khaidir
mengingatkan bahwa kita tidak boleh lupa, tujuan sekelompok orang berkelompok
adalah untuk meraih kekuasaan. Tentu saja, loyalitas terhadap kelompok
merupakan tanggung jawab aktivis kelompok. Namun, kita juga tidak boleh alpa
bahwa kekuasaan politik merupakan amanat yang dipikulkan rakyat kepada politisi
agar berusaha semaksimal mungkin membangun peradaban dan kesejahteraan bersama.
Rakyat,
ketika memilih suatu kelompok, berarti
sebagai konstituen politik telah memasrahkah nasib politiknya kepada kelompok
terpilih. Oleh karena itu, merupakan tugas kelompok tersebut melalui aktivisnya
yang terpilih menjadi anggota parlemen atau pemerintah, untuk mendesakkan
realisasi janji-janji kesejahteraan rakyat.
Mengabdi
kepada rakyat dan negara buka berarti penghianatan terhadap kelompok. Bahkan,
akan menguntungkan kelompok bersangkutan karena dinilai berhasil membangun
pranata sosial-masyarakat. hal ini tentu menjadi daya dongkrak dalam meraih
suara pemilih pada pemilu berikutnya. Pengabdian kepada kepentingan kelompok
adalah suatu kemutlakan, tetapi rakyat juga memerlukam polesan dari para
politisi untuk memperbaiki perikehidupan rakyat.
Dalam
rangka ini, perlunya konsep politik saling mengerti agar tercipta kesadaran
diantara berbagai kelompok kepentingan. Perdebatan yang tak kunjung usai
tentang parsialitas kepentingan harus segera diakhiri. Secara praksis,
kesadaran semacam itu bisa membangun dengan memberi pengertian kepada publik
agar mempunyai social-political awareness dan social-political concern. Publim
perlu di advokasi bahwa kesadaran politik merupakan daya kontrol atas kebijakan
serta wacana elite politik sehingga politisi harus berfikir kembali ketika
harus mengorbankan suara rakyat. MINW