Breaking News

Senin, 04 Mei 2015

Menyinergikan Kepentingan Pribadi, Konstituen, Bangsa dan Negara


Dalam politik, tidak ada teman yang abadi, yang ada hanyalah kepentingan yang abadi. Begitulah kira-kira ungkapan yang kerap terlontar dan menghiasi dunia perpolitikan kita. kepentingan yang sama, apapun bentuknya adalah teman bagi politik itu sendiri. Kenyataan ini bukan merupakan degradasi dalam kancah perpolitikan, tetapi harus diyakini sebagai kodrat dari politik yang terakomodasi dalam bentuk kepentingan. Sudah menjadi rahasia umum bahwa politik adalah kepentingan (interest).

Perjuangan dalam arena politik berarti perjuangan untuk mewujudkan kepentingan. Mengingat dalam politik ada beragam kepentingan, maka idealnya, mengutamakan kepentingan publik (public interest) adalah tujuan utama yang seharusnya dicapai. Karena itu, mengutamakan kepentingan publik diatas kepentingan kelompok dan kepentingan pribadi adalah sebuah imperatif.

Dalam praksis politik,ide mulia yang mengutamakan kepentingan publik diatas kepentingan kelompok dan pribadi kerap kali mengalami hambatan. Menurut Auri Adham Putro, terdapat tiga kondisi yang membuat kepentingan publik menjadi sulit diwujudkan.

Pertama, masyarakat tetap dianggap sebagai massa, dan bukan elite, sehingga selalu dianggap bodoh dalam hal politik. Urusan politik hanya milik elite semata, sedangkan porsi masyarakat terkait dengan keseharian politik yang banal. Elite berada dalam posisi sebagai subyek sementara masyarakat dianggap sebagai objek politik. Elite superior, sedangkan masyarakat yang memberikan legitimasi politik kepada elite justru harus puas menjadi inferior.

Kedua, masyarakat hanya dibutuhkan dalam situasi tertentu, misalnya ketika akan diadakan pemilu, tetapi ketika pemilu usai ia akan dikembalikan ke habitat aslinya yang penuh ketidakpastian dan penderitaan. Komunikasi politik hanya berlangsung 5 tahun sekali sesuai dengan agenda pemilu dan sesuaikan dengan kepentingan politik tertentu yang mengharuskan elite berhubungan dengan masyarakat.

Ketiga, masyarakat hanya diperlukan dalam rangka membangun klaim-klaim politik sebagai senjata supaya tetap dianggap “demokratis”. Kehadiran masyarakat hanya menghiasi label demokratis dalam rangka pencapaian kekuasaan, selanjutnya setelah kekuasaan tersebut diraih, maka rakyat harus mengundurkan diri dari arena politik.

Kondisi ini ditambah dengan semakin gagahnya para politisi beretorika, sehingga atas nama kepentingan publik, mereka sebenarnya sedang merancang suatu strategi demi kepentingan kelompoknya sendiri. Dengan kata lain, rakyat kerap disuguhi aneka permainan politik yang memaksa rakyat tertegun lantas tidak lagi mampu membedakan mana yang merupakan kepentingan publik dan yang justru menguntungkan kelompok tertentu.

Keadaan ini pada tahap selanjutnya membuat kepentingan kelompok dan pribadi lebih berdaulat daripada kepentingan publik. Kendati demikian, masih terbuka peluang untuk mengakomodasikan kepentingan publik walau dalam porsi yang terbatas.

Peluang tersebut pertama-tama terletak dipara politisi yang masih memiliki idealisme untuk memajukan kepentingan publik baik diatas kepentingan kelompok maupun kepentingan politiknya. Mereka adalah orang-orang yang sadar terhadap tugas dan tanggung jawabnya lantas melakukan dan memberikan yang terbaik kepada publik demi  kepentingan orang banyak. Kita harus berangkat dari pemahaman bahwa para politisi juga merupakan bagian dari kepentingan publik sehingga sudah selayaknya mereka tertantang mengutamakan kepentingan publik juga.

Dalam diskursus politik kepentingan, persoalan pelik yang sering muncul bagi politisi adalah soal porsi kepentingan terhadap partai yang telah berjasa melahirkan politisi dan terhadap rakyat sebagai konstituennya. Mengingat dua kepentingan yang sangat strategis ini, dalam banyak kasus, hal ini amat membingungkan para politisi dalam membedakan kepentingan mana yang harus diutamakan sehingga tak jarang melahirkan konflik kepentingan.

Posisi hubungan antara kepentingan partai dan rakyat, secara bijak, pernah disampaikan oleh Muhammad Natsir dalam ungkapannya yang berbunyi: “The loyality to the party ends, when the loyality to the state begins”. Sayangnya kalimat sederhana yang amat bermakna ini tidak sepenuhnya diamanatkan oleh para politisi kita.

Di antara kepentingan dilematis yang kerap muncul antara mewujudkan kepentingan kelompok dan kepentingan rakyat, kuatnya jaringan hierarki kelompok membuat para politisi harus tunduk kepada loyalitas kelompok. Kenyataan ini membuat kepentingan kepada negara (rakyat) masih dapat terwujud jika kepentingan kepada kelompok telah dilakukan. Artinya, kepentingan terhadap negara (rakyat) hanyalah kepentingan pelengkap.

Tidak terwujudnya kepentingan negara (rakyat) karena pengaruh loyalitas terhadap kelompok lebih dominan dibandingkan terhadap negara (rakyat). Piet H Khaidir mengingatkan bahwa kita tidak boleh lupa, tujuan sekelompok orang berkelompok adalah untuk meraih kekuasaan. Tentu saja, loyalitas terhadap kelompok merupakan tanggung jawab aktivis kelompok. Namun, kita juga tidak boleh alpa bahwa kekuasaan politik merupakan amanat yang dipikulkan rakyat kepada politisi agar berusaha semaksimal mungkin membangun peradaban dan kesejahteraan bersama.

Rakyat, ketika memilih suatu  kelompok, berarti sebagai konstituen politik telah memasrahkah nasib politiknya kepada kelompok terpilih. Oleh karena itu, merupakan tugas kelompok tersebut melalui aktivisnya yang terpilih menjadi anggota parlemen atau pemerintah, untuk mendesakkan realisasi janji-janji kesejahteraan rakyat.

Mengabdi kepada rakyat dan negara buka berarti penghianatan terhadap kelompok. Bahkan, akan menguntungkan kelompok bersangkutan karena dinilai berhasil membangun pranata sosial-masyarakat. hal ini tentu menjadi daya dongkrak dalam meraih suara pemilih pada pemilu berikutnya. Pengabdian kepada kepentingan kelompok adalah suatu kemutlakan, tetapi rakyat juga memerlukam polesan dari para politisi untuk memperbaiki perikehidupan rakyat.

Dalam rangka ini, perlunya konsep politik saling mengerti agar tercipta kesadaran diantara berbagai kelompok kepentingan. Perdebatan yang tak kunjung usai tentang parsialitas kepentingan harus segera diakhiri. Secara praksis, kesadaran semacam itu bisa membangun dengan memberi pengertian kepada publik agar mempunyai social-political awareness dan social-political concern. Publim perlu di advokasi bahwa kesadaran politik merupakan daya kontrol atas kebijakan serta wacana elite politik sehingga politisi harus berfikir kembali ketika harus mengorbankan suara rakyat. MINW

0 komentar:

Posting Komentar

sealkazzsoftware.blogspot.com resepkuekeringku.com