Keberhasilan reformasi 1998 yang harus dibayar mahal dengan tetesan
air mata bahkan pengorbanan jiwa para mahasiswa, telah membawa bangsa Indonesia
mengalami perubahan struktur kekuasaan yang sangat fundamental. Kedaulatan yang
dahulu berada di tangan MPR yang merupakan lembaga tertinggi negara, kini
berubah secara mendasar menjadi kedaulatan konstitusi dimana semua lembaga
negara memiliki susunan dan kedudukan yang setara, dimana antar lembaga dapat
melakukan fungsi check and balances sehingga kehidupan ketatanegaraan kita
diharapkan dapat lebih baik dari pada zaman sebelum orde reformasi.
Pun demikian kaitannya dengan hubungan Lembaga Eksekutif dengan
Legislatif. Keadaan yang terjadi sebelum era reformasi adalah kekuasaan
eksekutif terlalu ‘superior’ dalam hal kewenangannya membuat undang – undang.
Akan tetapi, pasca amandemen UUD’45 yang merupakan salah satu buah reformasi
’98 , hal itu mengalami pergeseran yang cukup signifikan dimana sekarang
kekuasaan legislatif mempunyai porsi yang lebih besar dibandingkan eksekutif.
Artinya supremasi rakyat (yang dalam hal ini adalah DPR) mempunyai tempat yang
lebih menguntungkan dan lebih kuat dibandingkan dimasa lalu. Dan oleh karena
itu, sudah menjadi keharusan bagi rakyat yang diwakili oleh DPR dapat memainkan
peran yang lebih baik dan dapat mengakomodir kepentingan masyarakat bawah
melalui produk – produk yang dihasilkan melalui lembaga legislatif.
Dalam kehidupan ketatanegaraan kita mengenal konsep pembagian
kekuasaan menjadi 3 yaitu eksekutif, legislatif dan yudikatif. Kampus, tempat
dimana bersemainya beragam nilai dan pemikiran juga mengadopsi konsep tersebut
dalam student government. Hanya saja wilayah yang terakhir yaitu wilayah
yudikatif selama ini belum disentuh atau mungkin belum terpikirkan oleh para
aktivis kampus sekarang. Dalam tulisan ini kita hanya akan membahas satu lahan
yang selama ini “terkesan “tenggelam dengan aktivitas lembaga eksekutif
kampus (BEM), yaitu Lembaga Legislatif Mahasiswa. Lembaga Legislatif
Mahasiswa dengan Lembaga Eksekutif Mahasiswa selama ini terkesan berkompetisi
untuk menjadi yang lebih ‘berkuasa’ terhadap sebuah isu, sehingga peran – peran
lembaga legislatif cenderung tidak optimal dan kabur. Mengapa kemudian masalah
ini kemudian kita coba bahas? Karena memang selama ini peran dari lembaga
legislatif mahasiswa baik ditataran nasional maupun regional belum atau tidak
menunjukkan hasil yang signifikan..
Sebagai lembaga legislatif, mahasiswa mempunyai 3 peran strategis yang
dapat dimainkan yaitu, peran legislasi, kontrol dan anggaran. Agar dapat
melakukan ketiga peran tersebut dengan baik tidaklah mudah, aktivis mahasiswa
haruslah mempunyai sistem yang kuat serta mesin organisasi yang solid. Selain
itu aktivis lembaga legislative mahasiswa dituntut untuk memiliki kemampuan
untuk memahami dan menganalisis setiap peran yang ia mainkan serta yang tak
kalah penting adalah konsistensi dari sebuah agenda yang kemudian di
terjemahkan dalam aksi – aksi di lapangan. Karena selama ini, kita para aktivis
mahasiswa ternyata lebih banyak mengusung agenda tetapi hal itu tidak dibarengi
dengan aksi yang mendorong / menopang goal setting agenda tersebut. Bahasa
kasarnya adalah kita banyak mengagendakan isu – isu, habis itu kita tinggal
pergi dan tenggelam dengan agenda yang baru.
Dari ketiga peran diatas, ada beberapa hal yang perlu dilakukan
aktivis lembaga legislative mahasiswa agar peran lembaga legislative lebih
tepat pada sasaran dan dapat menghasilkan output yang mengakomodasi kepentingan
mahasiswa. Pertama, agar peran legislasi dapat berjalan dengan baik ada
beberapa tahapan yang harus dilakukan oleh aktivis lembaga legislative
mahasiswa. Yaitu : identifikasi masalah atau isu, analisis opsi kebijakan,
penentuan opsi kebijakan dan rencana implementasinya di lapangan. Sedangkan
untuk mendukung peran kontrol atau pengawasan, parameter yang digunakan adalah
: data kinerja pengawasan teknis, standar kinerja, konfirmasi dan verifikasi
dan tindakan politis. Peran ketiga yaitu anggaran dapat dilakukan dengan cara
lembaga legislative menjadi pihak sentral dalam pengalokasian dana kegiatan
kemahasiswaan, baik untuk UKM maupun Eksekutif.
Perjalanan peran lembaga legislative secara umum memang sedang berada
dalam kondisi yang tidak menguntungkan. Ditataran tingkat nasional kita masih
dihadapkan pada permasalahan belum menemukan format gerakan bersama, yang
diakibatkan oleh kuatnya kepentingan di masing – masing elite kampus dan belum
mempunyai satu frame pemahaman. Sedangkan di tataran internal kampus kita
sering dihadapkan pada permasalahan sumber daya manusia dalam mengusung isu –
isu internal kampus. Karena opini yang terbangun selama ini adalah teman –
teman eksekutif lebih ‘ terkenal ‘ dibandingkan dengan legislative dengan kerja
– kerja teknis mereka di lapangan. Hal ini menambah posisi tawar lembaga
legislative berkurang baik di mata mahasiswa maupun birokrasi.
Ada sebuah PR bersama yang harus segera dijawab oleh aktivis mahasiswa
yang berada di wilayah legislative, yaitu format gerakan seperti apa yang akan
diambil, karena selama ini hal ini masih menjadi perdebatan panjang yang tidak
tahu akan berakhir kapan. Apakah akan mengambil bentuk seperti teman – teman
eksekutif atau seperti apa. Hal ini penting karena tidak kita pungkiri bahwa
kita sadari atau tidak hari ini kita masih belum mempunyai sebuah batas yang
benar – benar jelas dalam wilayah kerja dan penyikapan isu antara legislative
dan eksekutif. Walaupun secara yuridis kita sudah mempunyai sebuah batas
wilayah yang jelas, tetapi ditataran lapangan batas ini kabur. Ada beberapa
peran vital yang bisa dimainkan oleh mahasiswa terkait dengan perannya sebagai
lembaga legislasi antara lain: menjadi sebuah kekuatan oposisi yang kritis dan
konstruktif ekstra parlementer, ikut andil dalam pembuatan kebijakan birokrasi
(tidak hanya di kampus tetapi juga negara) dimana pintu masuknya adalah dari
peran oposisi yang kita mainkan. Sebagai contoh kita bisa melakukan Counter Legal Drafting terhadap RUU BHP
yang merupakan isu bersama (common issues)
mahasiswa Indonesia dengan mengajukannya ke DPR dan pihak terkait. Ini di
tataran nasional, sedangkan di tataran regional ataupun lokal mahasiswa dapat
terlibat dalam pembuatan atau pengkritisan produk kebijakan DPRD. Artinya agar
kemudian peran lembaga legislatif mahasiswa dapat bangun dari tidur panjangnya
, sudah saatnya aktivis mahasiswa merumuskan kembali format gerakan apa yang
akan di ambil yang merupakan khittah dari perjuangannya. Kemudian yang tak
kalah penting adalah mengambil peran strategis dalam kapasitasnya sebagai
kekuatan oposisi ekstra parlementer baik di birokrasi kampus maupun negara.
Dengan demikian harapannya adalah lembaga legislative benar – benar menjadi
sebuah lembaga mahasiswa yang dapat menyalurkan dan memperjuangkan kepentingan
mahasiswa , bukan hanya sekedar nama.
Sumber : https://de19.wordpress.com/2008/12/30/legislatif-mahasiswa/
0 komentar:
Posting Komentar